Search for Green

Monday, July 11, 2011

Go Green", Kapitalisasi Dibalik Isu Lingkungan (2-Selesai)



Pernah mendengar pembagian kasta dunia versi Barat? Istilah seperti Dunia ke 1, 2 dan 3 misalnya. Istilah yang pertama kali muncul di masa awal terjadinya Perang Dingin tahun (Cold War) antara negara-negara penganut ideologi Kapitalisme(Amerika Serikat dan sekutu) melawan negara penganut ideologi Komunisme yang saat itu adalah Uni Soviet. Pada masa itu, negara-negara lain yang tidak turut andil dalam perang dikarenakan tidak memiliki kekuatan dan kepentingan dianggap sebagai negara dari Dunia ke 3. Bernada pelecehan memang, namun tidak bisa dipungkiri mengingat masa-masa tersebut adalah masa dimana ideologi sebagai way of life dari tiap bangsa memainkan perannya untuk menyebarkan paham kepada bangsa lain. Imbas dari penyebaran ideologi adalah benturan, baik itu berupa fisik maupun sekedar pemikiran. Bagi negara-negara yang tergabung dalam dewan keamanan PBB tentunya benturan fisik berupa perang militer bukanlah sesuatu yang menakutkan untuk dihadapi. Jadi, sementara negara-negara maju sibuk dengan peperangan militer, negara-negara ‘kecil’ di benua hitam Afrika dan ras kuning di Asia asik membenahi diri sendiri untuk melepaskan diri dari penjajahan ataupun membangun struktur kenegaraan dari dasar setelah merdeka.

Seiring perkembangan zaman dan fakta ideologi kapitalisme-lah yang mendominasi dunia saat ini terlebih setelah keruntuhan Uni Soviet, istilah Thirld World tidaklah hilang melainkan berubah makna untuk menunjukkan sebuah negara yang terkategori miskin dan tertinggal (baca: berkembang) dalam bidang ekonomi, politik, militer, teknologi, sosial. Negara mana sajakah yang tergolong Dunia ke 3? Tidak usah jauh-jauh memikirkannya karena Indonesia sangat memenuhi syarat sebagai negara tertinggal, maksud saya berkembang.
Nah, Dunia ke 3 yang sudah kita ketahui asal-usulnya juga bisa dibilang memiliki fungsi sebagai ‘penyeimbang’ dunia saat ini meski tetap dalam frame yang negatif alias miris. Manakala negara-negara maju semakin meningkatkan potensi dari kekuatan industri untuk menyokong perekonomian mereka yang telah mapan, negara-negara di dunia ke 3-lah yang ‘berkomitmen’ menanggung efek sampingnya. Efek sampingnya familiar terdengar seperti kerugian secara ekonomi, kerusakan lingkungan dan polusi yang dihasilkan. Ini adalah konsekuensi yang harus ditanggung oleh tiap negara yang baru bisa merdeka setelah perang dunia kedua usai. Dimana secara politik negara-negara yang pernah terjajah tidak memiliki kekuatan untuk menyetujui atau tidak menyetujui kesepakatan-kesepakatan internasional. Sejarah masa lalu pastinya tidak ketinggalan menjadi faktor betapa mudahnya negara berkembang terikat dengan perjanjian-perjanjian merugikan dengan negara maju dikarenakan sebagian undang-undang yang diadopsi pemerintah masa kini berasal dari negara yang pernah menguasainya.

Saat kita bicara tentang negara maju, pastilah kita langsung membayangkan suatu negara yang besar, ekonomi mapan, industrialisasi di berbagai bidang, gaya hidup modern dan pendidikan berkualitas. Penyandangnya pun tidak banyak, yang terlintas di pikiran sekitar Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia dan Cina mungkin sebagai perwakilan dari Asia. Ya, nama-nama yang sebagian besar menghuni sebagai Dewan Keamanan PBB. Tidak salah mereka diidentikkan dengan negara industrialis, karena toh mereka menjadi maju di berbagai sendi kehidupan karena telah menjalani fase tersebut. Dengan industrialisasi mereka telah menjadi negara-negara produsen bermacam produk. Barang-barang hasil produksinya diekspor ke berbagai belahan bumi. Dan keuntungan dalam bentuk uang kertas berwarna hijau telah menyokong pembangunan di sepanjang tahun. Wajar bukan bila negara industri membutuhkan banyak pabrik. Pabrik jelas membutuhkan bahan baku untuk diolah menjadi barang jadi maupun setengah jadi. Dan pada prosesnya haruslah dimulai dengan ketersediaan energi yang mayoritas pabrik masih memanfaatkan bahan bakar dari fosil sebagai sumbernya. Bicara soal energi, saya jadi teringat dengan hukum Thermodinamika yang ke 2, bahwa transfer energi tidak ada yang bisa berjalan sempurna, alias selalu ada yang menjadi terbuang (entropi). Anda benar, ujung-ujungnya soal limbah dan polusi.

Okelah, sedikitnya kita sudah mulai bisa menyimpulkan bahwa negara yang besar karena industri pasti menghasilkan polusi yang besar pula. Maka seharusnya, negara seperti AS, Jerman, Perancis dan lainnyalah yang bertanggungjawab lebih besar terhadap kerusakan lingkungan saat ini. Dan juga teramat wajar negara-negara dari Dunia ke 3 menuntut upaya konkret dari negara maju berupa perbaikan dari segala kesalahan yang telah diperbuat. Lho, kenapa negara-negara berkembang mendadak menjadi begitu agresif bila menyinggung isu tentang kerusakan lingkungan? Usut punya usut ternyata hal ini terkait dengan kebijakan dalam negeri untuk terus mengembangkan industrialisasi demi mengejar ketertinggalan dari negara maju. Saat negara-negara kepulauan di pasifik selatan ingin berkembang, mereka sudah lebih dulu terancam oleh kenaikan tinggi air laut setiap tahunnya. Tidak jauh berbeda dengan negara-negara di benua Afrika yang mengalami hambatan berupa krisis air akibat kekeringan yang semakin buruk dan suhu yang ekstrem sedangkan di sisi lain keinginan untuk menjadi negara maju terus terbayang. Ketidakadilan, tentunya itu yang dirasakan. Negara maju boleh membanggakan keunggulannya setelah mengeksploitasi sumber daya alam di dalam negerinya sendiri maupun dari negara-negara berkembang yang terpaksa menandatangani MoU karena terpincut iming-iming kemungkinan untuk ‘belajar’ dari negara yang sedang menjamahnya. Sedangkan bila menyangkut kerusakan yang ditimbulkan, keangkuhan negara maju berupa national well-being dan prestise akan menghambat upaya untuk turut bertanggungjawab.

Sampai disini, masalah lingkungan yang awalnya dalam taraf “low politics” menjadi “high-politics”. Kepentingan dari tiap negara bermain di isu global ini. Negara-negara yang tergabung dalam Developing Countries terus menuntut partisipasi signifikan dari negara maju. Sedangkan negara maju jelas merasa dirugikan bilamana mereka harus memenuhi tuntutan tersebut. Lihat saja contohnya saat Protokol Kyoto ditolak mentah-mentah oleh negeri adidaya Amerika Serikat. Mereka sadar, bilamana menuruti isi protokol tersebut yang mengharuskan tiap negara menurunkan emisi Gas Rumah Kacanya hingga 7% pada tahun 2012 tentu akan memukul kegiatan industri dalam negeri. Padahal kebijakan dalam negeri dari tiap-tiap negara maju yang menganut sistem ekonomi kapitalis, menitikberatkan pada nilai total barang dan jasa yang diproduksi dalam satu tahun yang disebutGNP (Gross National Product) untuk mempertahankan status sebagai Developed Countries. Ditambah lagi tuntutan lainnya dari Protokol Kyoto agar negara maju mentransfer teknologi yang ramah lingkungan kepada negara berkembang yang diantaranya berupa konversi energi dari penggunaan batu bara sebagai bahan bakar menjadi gas yang tentunya akan meningkatkan biaya produksi.

Mundurnya AS dan kerabat dekatnya dari ratifikasi Protokol Kyoto pada 13 Maret 2001 tidak mengartikan mereka benar-benar melepas diri dari ‘usaha’ untuk menghijaukan lingkungan. Mereka menyadari, setidaknya untuk saat ini bahwa negara mereka bisa bertahan dalam kondisi lingkungan yang buruk meski menghasikan kondisi ekonomi yang menyilaukan. Tapi hal ini tidak akan berlangsung lama karena sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya. Meskipun kita tahu, sejumlah besar cadangan sumber daya yang negara maju seperti AS gunakan berada di negara-negara berkembang. Bagaimana mungkin di satu sisi AS mencaci pembuangan emisi berlebihan sedangkan di sisi lain perusahaan-perusahaan multinasional mereka sebagian besar bercokol di suatu negara. Andaikata mereka benar-benar melepas diri dari upaya perbaikan lingkungan, maka kelangsungan perusahaan-perusahaan mereka yang telanjur bercokol di Indonesia misalnya, seperti Exxon Mobil Corp, Ford Motor Company, Texaco, British Petroleum, General Motors, Royal Dutch Shell, dan Daimler Chrysler tidak akan senyaman seperti saat ini.
Cerdas bukan, hal-hal seperti ini sudah dipikirkan negara-negara kapitalis puluhan bahkan ratusan tahun sebelum mereka benar-benar merudapaksa segala potensi dari suatu negeri yang tidak berdaya. Imperialisme atau penjajahan bukan suatu yang mengagetkan, karena dengan cara itulah ideologi kapitalisme yang diemban suatu negara bisa bertahan. Penjajahan fisik mungkin trik lama dan terlalu menguras tenaga serta biaya. Lebih mudah dengan cara penjajahan pemikiran dengan menguasai kebijakan suatu negara dan perekonomiannya lewat hak pemesanan eksklusif undang-undang.

Sekilas kita bertanya, toh lama kelamaan kesadaran masyarakat suatu negara yang ‘terjajah’ akan timbul dan tuntutan untuk mengembalikan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak dalam negeri semakin memanas, lalu bagaimana negara maju seperti AS yang dominan pengaruhnya di negeri ini mengatasinya? Dengan memainkan opini tentunya. Menunggangi upaya forum-forum internasional yang concern menurunkan CO2 di atmosfer atau mengenalkan ide-ide ‘segar’ untuk mengadopsi energi hijau alternatif menggantikan energi konvensional biasa dipamerkan sebagai alat. Bagaimana kucuran dana dari asing mengalir untuk mensponsori berbagai penelitian yang terkait dengan green technology atau green energy, pujian dan penghargaan yang diberikan bagi anak bangsa saat menemukan briket dari limbah organik hingga apresiasi berlebihan saat penerapan energi yang berasal dari tinja diwujudkan. Tentunya masyarakat awam dan terbelakang secara pengetahuan akan mudahnya terbuai. Seolah dalam hal energi kembali ke kotoran merupakan kemajuan, padahal dibalik itu semua negara-negara maju sedang menertawakan sembari memanfaatkan nuklir sebagai energi menyongsong masa depan. Jutaan dolar yang dikucurkan asing untuk mensponsori kegiatan bertema lingkungan pun tidak terlalu berarti dibandingkan keuntungan yang digenggam dari eksplorasi dan eksploitasi kekayaan sumbar daya alam yang ada di Indonesia dan negara-negara terjajah lainnya. Neokolonialisme, begitu para cendikiawan bilang. Ya, penjajahan dan pembodohan yang tidak dirasakan.

Kesimpulan

Bahwa upaya-upaya perbaikan lingkungan selamanya hanya akan membangkitkan kesadaran individu-individu semata meskipun dirangkum dalam agenda-agenda berskala internasional. Kebijakan perkumpulan masyarakat pasti akan bersinggungan dengan kebijakan suatu negara. Dan kebijakan suatu negara selalu terikat dengan ideologi yang dianutnya. Selama ideologi yang dianut adalahkapitalisme ataupun komunisme yang menuhankan materi, rakus dan tamak, maka upaya-upaya suci di atas hanya akan berkutat di wilayah pinggiran dan tidak bersifat kolektif. Penulis pernah bertanya pada seorang dosen untuk memberikan contoh satu saja negara yang berhasil menerapkan teori-teori terkait kebijakan lingkungan melawan pemanasan global. Dan jawabannya adalah nol, belum ada. Padahal teori-teori panjang telah dijadikan kurikulum, ratusan jurnal penelitian memenuhi perpustakaan umum, namun tetap saja kenyataannya selalu mentah di tangan penguasa yang mengendalikan undang-undang. Kita harus membuka mata, mencerdaskan diri dan berpikir kritis, bahwa dibalik suatu kebijakan selalu ada kepentingan. Seperti yang dinyatakan Small Group Theory, perilaku politik luar negeri suatu negara ditentukan oleh sekelompok kecil orang yang memiliki akses tertentu terhadap sumber daya tertentu.

source : muslim-environmentalist (ggfw)

No comments:

Post a Comment