Search for Green

Monday, July 11, 2011

Go Green", Kapitalisasi Dibalik Isu Lingkungan (2-Selesai)



Pernah mendengar pembagian kasta dunia versi Barat? Istilah seperti Dunia ke 1, 2 dan 3 misalnya. Istilah yang pertama kali muncul di masa awal terjadinya Perang Dingin tahun (Cold War) antara negara-negara penganut ideologi Kapitalisme(Amerika Serikat dan sekutu) melawan negara penganut ideologi Komunisme yang saat itu adalah Uni Soviet. Pada masa itu, negara-negara lain yang tidak turut andil dalam perang dikarenakan tidak memiliki kekuatan dan kepentingan dianggap sebagai negara dari Dunia ke 3. Bernada pelecehan memang, namun tidak bisa dipungkiri mengingat masa-masa tersebut adalah masa dimana ideologi sebagai way of life dari tiap bangsa memainkan perannya untuk menyebarkan paham kepada bangsa lain. Imbas dari penyebaran ideologi adalah benturan, baik itu berupa fisik maupun sekedar pemikiran. Bagi negara-negara yang tergabung dalam dewan keamanan PBB tentunya benturan fisik berupa perang militer bukanlah sesuatu yang menakutkan untuk dihadapi. Jadi, sementara negara-negara maju sibuk dengan peperangan militer, negara-negara ‘kecil’ di benua hitam Afrika dan ras kuning di Asia asik membenahi diri sendiri untuk melepaskan diri dari penjajahan ataupun membangun struktur kenegaraan dari dasar setelah merdeka.

Seiring perkembangan zaman dan fakta ideologi kapitalisme-lah yang mendominasi dunia saat ini terlebih setelah keruntuhan Uni Soviet, istilah Thirld World tidaklah hilang melainkan berubah makna untuk menunjukkan sebuah negara yang terkategori miskin dan tertinggal (baca: berkembang) dalam bidang ekonomi, politik, militer, teknologi, sosial. Negara mana sajakah yang tergolong Dunia ke 3? Tidak usah jauh-jauh memikirkannya karena Indonesia sangat memenuhi syarat sebagai negara tertinggal, maksud saya berkembang.
Nah, Dunia ke 3 yang sudah kita ketahui asal-usulnya juga bisa dibilang memiliki fungsi sebagai ‘penyeimbang’ dunia saat ini meski tetap dalam frame yang negatif alias miris. Manakala negara-negara maju semakin meningkatkan potensi dari kekuatan industri untuk menyokong perekonomian mereka yang telah mapan, negara-negara di dunia ke 3-lah yang ‘berkomitmen’ menanggung efek sampingnya. Efek sampingnya familiar terdengar seperti kerugian secara ekonomi, kerusakan lingkungan dan polusi yang dihasilkan. Ini adalah konsekuensi yang harus ditanggung oleh tiap negara yang baru bisa merdeka setelah perang dunia kedua usai. Dimana secara politik negara-negara yang pernah terjajah tidak memiliki kekuatan untuk menyetujui atau tidak menyetujui kesepakatan-kesepakatan internasional. Sejarah masa lalu pastinya tidak ketinggalan menjadi faktor betapa mudahnya negara berkembang terikat dengan perjanjian-perjanjian merugikan dengan negara maju dikarenakan sebagian undang-undang yang diadopsi pemerintah masa kini berasal dari negara yang pernah menguasainya.

Saat kita bicara tentang negara maju, pastilah kita langsung membayangkan suatu negara yang besar, ekonomi mapan, industrialisasi di berbagai bidang, gaya hidup modern dan pendidikan berkualitas. Penyandangnya pun tidak banyak, yang terlintas di pikiran sekitar Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia dan Cina mungkin sebagai perwakilan dari Asia. Ya, nama-nama yang sebagian besar menghuni sebagai Dewan Keamanan PBB. Tidak salah mereka diidentikkan dengan negara industrialis, karena toh mereka menjadi maju di berbagai sendi kehidupan karena telah menjalani fase tersebut. Dengan industrialisasi mereka telah menjadi negara-negara produsen bermacam produk. Barang-barang hasil produksinya diekspor ke berbagai belahan bumi. Dan keuntungan dalam bentuk uang kertas berwarna hijau telah menyokong pembangunan di sepanjang tahun. Wajar bukan bila negara industri membutuhkan banyak pabrik. Pabrik jelas membutuhkan bahan baku untuk diolah menjadi barang jadi maupun setengah jadi. Dan pada prosesnya haruslah dimulai dengan ketersediaan energi yang mayoritas pabrik masih memanfaatkan bahan bakar dari fosil sebagai sumbernya. Bicara soal energi, saya jadi teringat dengan hukum Thermodinamika yang ke 2, bahwa transfer energi tidak ada yang bisa berjalan sempurna, alias selalu ada yang menjadi terbuang (entropi). Anda benar, ujung-ujungnya soal limbah dan polusi.

Okelah, sedikitnya kita sudah mulai bisa menyimpulkan bahwa negara yang besar karena industri pasti menghasilkan polusi yang besar pula. Maka seharusnya, negara seperti AS, Jerman, Perancis dan lainnyalah yang bertanggungjawab lebih besar terhadap kerusakan lingkungan saat ini. Dan juga teramat wajar negara-negara dari Dunia ke 3 menuntut upaya konkret dari negara maju berupa perbaikan dari segala kesalahan yang telah diperbuat. Lho, kenapa negara-negara berkembang mendadak menjadi begitu agresif bila menyinggung isu tentang kerusakan lingkungan? Usut punya usut ternyata hal ini terkait dengan kebijakan dalam negeri untuk terus mengembangkan industrialisasi demi mengejar ketertinggalan dari negara maju. Saat negara-negara kepulauan di pasifik selatan ingin berkembang, mereka sudah lebih dulu terancam oleh kenaikan tinggi air laut setiap tahunnya. Tidak jauh berbeda dengan negara-negara di benua Afrika yang mengalami hambatan berupa krisis air akibat kekeringan yang semakin buruk dan suhu yang ekstrem sedangkan di sisi lain keinginan untuk menjadi negara maju terus terbayang. Ketidakadilan, tentunya itu yang dirasakan. Negara maju boleh membanggakan keunggulannya setelah mengeksploitasi sumber daya alam di dalam negerinya sendiri maupun dari negara-negara berkembang yang terpaksa menandatangani MoU karena terpincut iming-iming kemungkinan untuk ‘belajar’ dari negara yang sedang menjamahnya. Sedangkan bila menyangkut kerusakan yang ditimbulkan, keangkuhan negara maju berupa national well-being dan prestise akan menghambat upaya untuk turut bertanggungjawab.

Sampai disini, masalah lingkungan yang awalnya dalam taraf “low politics” menjadi “high-politics”. Kepentingan dari tiap negara bermain di isu global ini. Negara-negara yang tergabung dalam Developing Countries terus menuntut partisipasi signifikan dari negara maju. Sedangkan negara maju jelas merasa dirugikan bilamana mereka harus memenuhi tuntutan tersebut. Lihat saja contohnya saat Protokol Kyoto ditolak mentah-mentah oleh negeri adidaya Amerika Serikat. Mereka sadar, bilamana menuruti isi protokol tersebut yang mengharuskan tiap negara menurunkan emisi Gas Rumah Kacanya hingga 7% pada tahun 2012 tentu akan memukul kegiatan industri dalam negeri. Padahal kebijakan dalam negeri dari tiap-tiap negara maju yang menganut sistem ekonomi kapitalis, menitikberatkan pada nilai total barang dan jasa yang diproduksi dalam satu tahun yang disebutGNP (Gross National Product) untuk mempertahankan status sebagai Developed Countries. Ditambah lagi tuntutan lainnya dari Protokol Kyoto agar negara maju mentransfer teknologi yang ramah lingkungan kepada negara berkembang yang diantaranya berupa konversi energi dari penggunaan batu bara sebagai bahan bakar menjadi gas yang tentunya akan meningkatkan biaya produksi.

Mundurnya AS dan kerabat dekatnya dari ratifikasi Protokol Kyoto pada 13 Maret 2001 tidak mengartikan mereka benar-benar melepas diri dari ‘usaha’ untuk menghijaukan lingkungan. Mereka menyadari, setidaknya untuk saat ini bahwa negara mereka bisa bertahan dalam kondisi lingkungan yang buruk meski menghasikan kondisi ekonomi yang menyilaukan. Tapi hal ini tidak akan berlangsung lama karena sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya. Meskipun kita tahu, sejumlah besar cadangan sumber daya yang negara maju seperti AS gunakan berada di negara-negara berkembang. Bagaimana mungkin di satu sisi AS mencaci pembuangan emisi berlebihan sedangkan di sisi lain perusahaan-perusahaan multinasional mereka sebagian besar bercokol di suatu negara. Andaikata mereka benar-benar melepas diri dari upaya perbaikan lingkungan, maka kelangsungan perusahaan-perusahaan mereka yang telanjur bercokol di Indonesia misalnya, seperti Exxon Mobil Corp, Ford Motor Company, Texaco, British Petroleum, General Motors, Royal Dutch Shell, dan Daimler Chrysler tidak akan senyaman seperti saat ini.
Cerdas bukan, hal-hal seperti ini sudah dipikirkan negara-negara kapitalis puluhan bahkan ratusan tahun sebelum mereka benar-benar merudapaksa segala potensi dari suatu negeri yang tidak berdaya. Imperialisme atau penjajahan bukan suatu yang mengagetkan, karena dengan cara itulah ideologi kapitalisme yang diemban suatu negara bisa bertahan. Penjajahan fisik mungkin trik lama dan terlalu menguras tenaga serta biaya. Lebih mudah dengan cara penjajahan pemikiran dengan menguasai kebijakan suatu negara dan perekonomiannya lewat hak pemesanan eksklusif undang-undang.

Sekilas kita bertanya, toh lama kelamaan kesadaran masyarakat suatu negara yang ‘terjajah’ akan timbul dan tuntutan untuk mengembalikan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak dalam negeri semakin memanas, lalu bagaimana negara maju seperti AS yang dominan pengaruhnya di negeri ini mengatasinya? Dengan memainkan opini tentunya. Menunggangi upaya forum-forum internasional yang concern menurunkan CO2 di atmosfer atau mengenalkan ide-ide ‘segar’ untuk mengadopsi energi hijau alternatif menggantikan energi konvensional biasa dipamerkan sebagai alat. Bagaimana kucuran dana dari asing mengalir untuk mensponsori berbagai penelitian yang terkait dengan green technology atau green energy, pujian dan penghargaan yang diberikan bagi anak bangsa saat menemukan briket dari limbah organik hingga apresiasi berlebihan saat penerapan energi yang berasal dari tinja diwujudkan. Tentunya masyarakat awam dan terbelakang secara pengetahuan akan mudahnya terbuai. Seolah dalam hal energi kembali ke kotoran merupakan kemajuan, padahal dibalik itu semua negara-negara maju sedang menertawakan sembari memanfaatkan nuklir sebagai energi menyongsong masa depan. Jutaan dolar yang dikucurkan asing untuk mensponsori kegiatan bertema lingkungan pun tidak terlalu berarti dibandingkan keuntungan yang digenggam dari eksplorasi dan eksploitasi kekayaan sumbar daya alam yang ada di Indonesia dan negara-negara terjajah lainnya. Neokolonialisme, begitu para cendikiawan bilang. Ya, penjajahan dan pembodohan yang tidak dirasakan.

Kesimpulan

Bahwa upaya-upaya perbaikan lingkungan selamanya hanya akan membangkitkan kesadaran individu-individu semata meskipun dirangkum dalam agenda-agenda berskala internasional. Kebijakan perkumpulan masyarakat pasti akan bersinggungan dengan kebijakan suatu negara. Dan kebijakan suatu negara selalu terikat dengan ideologi yang dianutnya. Selama ideologi yang dianut adalahkapitalisme ataupun komunisme yang menuhankan materi, rakus dan tamak, maka upaya-upaya suci di atas hanya akan berkutat di wilayah pinggiran dan tidak bersifat kolektif. Penulis pernah bertanya pada seorang dosen untuk memberikan contoh satu saja negara yang berhasil menerapkan teori-teori terkait kebijakan lingkungan melawan pemanasan global. Dan jawabannya adalah nol, belum ada. Padahal teori-teori panjang telah dijadikan kurikulum, ratusan jurnal penelitian memenuhi perpustakaan umum, namun tetap saja kenyataannya selalu mentah di tangan penguasa yang mengendalikan undang-undang. Kita harus membuka mata, mencerdaskan diri dan berpikir kritis, bahwa dibalik suatu kebijakan selalu ada kepentingan. Seperti yang dinyatakan Small Group Theory, perilaku politik luar negeri suatu negara ditentukan oleh sekelompok kecil orang yang memiliki akses tertentu terhadap sumber daya tertentu.

source : muslim-environmentalist (ggfw)

"Go Green", Kapitalisasi Dibalik Isu Lingkungan (1)

      Dalam 10 tahun belakangan ini sebut saja beberapa istilah asing seperti Global Warming, Go Green, Back to Nature, Save the Earth dan sejenisnya santer anda dengar dan saksikan baik lewat media elekronik maupun cetak. Tidak ada masalah tentang istilah-itilah 'hijau' di atas karena faktanya semangat kesadaran dalam menjaga bumi anda tetap lestari terkandung di dalamnya. Pemikiran mendasar bahwa bumi adalah bagian dari sistem kehidupan galaksi 'Milky Way' yang mampu menjadi tempat bermukim bagi milyaran organisme yang kemudian masing-masingnya membentuk kesatuan ekosistem baik air, darat maupun ekosistem buatan, seperti yang kita pelajari bersama di sekolah dasar. Bilamana bumi itu terganggu, maka kehidupan di dalamnya tidak mungkin berjalan stabil. Inilah yang mungkin menjadi pemicu lahirnya istilah-istilah tersebut.



       Kesadaran untuk menjaga kelestarian bumi sudah tercetuskan sejak pertama kali diselenggarakannya Earth Summit tahun 1972 di kota Stockholm, Jerman. Seperti terlambat bukan? Manakala pergerakan industri sudah dimulai sejak berabad-abad sebelumnya dan menumpahkan jutaan kubik karbon, kita manusia baru mencermati efeknya puluhan tahun yang lalu.
Earth Summit itu sendiri selalu membahas aspek-aspek lingkungan yang menyangkut soal penurunan kualitas udara, air, penipisan lapisan ozon, epidemi penyakit, punahnya beberapa spesies flora serta fauna dan penurunan kualitas tanah yang khusus menyebabkan menurunnya tingkat produksi pangan dunia. Tercatat dalam 38 tahun terakhir UN (PBB) telah sukses menyelenggarakan Kongres Bumi sebanyak 10 kali (terakhir di Beijing) yang pesertanya adalah tiap kepala negara di dunia termasuk Indonesia.
     
       Menurut anda, berhasilkah upaya-upaya perbaikan lingkungan yang dirumuskan lewat kongres besar tersebut? Ternyata tidak. Sekalipun kepala negara telah mewakili semangat perbaikan anda para pemerhati lingkungan, slogan tetaplah hanya menjadi kumpulan abjad bila tidak diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Berbagai kongres telah diselenggarakan, milyaran dolar telah dikucurkan, bahkan bumi ini memiliki Protokol Kyoto yang lahir pada 1997 yang merupakan persetujuan internasional mengenai pemanasan global dimana tiap negara maju wajib menurunkan gas rumah kaca sebesar 5% dalam kurun waktu 4 tahun antara 2008 sampai 2012 dimana protokol tersebut menjadi kadaluarsa. 
Faktanya kita patut pesimistis terhadap upaya-upaya bertaraf internasional dalam menyikapi isu Global Warming-Global Warning ini melihat bahwa tahun 2010 yang baru saja terlewati menjadi saksi betapa bumi yang kita cintai ini menghadapi masalah yang serius. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) meliris statement bahwa tahun 2010 merupakan tahun yang terpanas sejak awal pendataan terkait suhu pada 1880! Bahkan bila anda rajin mengikuti berita global sepanjang tahun kemarin beberapa peristiwa terkait perubahan iklim dunia dan cuaca ekstrem berhasil menjadi sensasi. Jika mencairnya gletser dalam skala besar di kutub utara sudah menjadi hal yang 'biasa', maka pada bulan Januari 2010 berita membekunya air terjun Minnehaha di Minnesota (AS) saya perkirakan sempat mengejutkan anda. Bagaimana dengan tayangan dari National Geographic Channel, saat peneliti di kutub utara menemukan beruang kutub yang mati tenggelam karena tidak menemukan lapisan es yang cukup tebal untuk menopang bobot tubuhnya setelah berenang mencari makan? Setidaknya anda sudah bisa menerima bahwa negeri ini telah kehilangan 'Salju Abadi' dari puncak pegunungan Jaya Wijaya, Papua. Berita-berita buruk di atas masih ditambah dengan tumpahan minyak terburuk dalam sejarah AS di Teluk Meksiko yang menyebabkan laut tercemar tidak kurang dari 5 juta barrel minyak.


       Akan ada banyak peristiwa yang mencengangkan tentang bumi bila terungkap semuanya. Dan 2011 bukanlah tahun yang lebih ramah bila memperhatikan pendahulunya. Saat kita menobatkan suatu zaman sebagai era modern, maka sesungguhnya itu hanya berlaku bagi manusia dan teknologi yang digunakannya. How about the earth? Mungkin slogan stasiun televisi musik terpopuler MTV saat turut memperhatikan isu pemanasan global bisa mengingatkan anda, "Manusia semakin maju, namun bumi semakin tertinggal."
Tulisan selanjutnya akan mengulas ragam isu diatas dari sudut pandang yang berbeda.


Source : muslim-environmentalist (ggfw)

Monday, July 4, 2011

Bebas Carbon 2050?



Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change - IPCC) telah mengeluarkan laporan pemanfaatan energi terbarukan. Para ilmuwan menganalislebih dari 160 skenario untuk menghitung potensi energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi dunia pada tahun 2050Skenario yang paling optimis memprediksikan bahwa energi terbarukan merupakan 80darimatriks energi kita bila kondisi tertentu terpenuhiEnergi terbarukan tersebutadalah bioenergienergi suryaenergi panas bumienergi tenaga airenergi lautdan energi angin.
Energi terbarukan menyumbang 12,9dari pasokan energi primer pada tahun2008, meskipun sebagian besar ini adalah biomassaMeskipun krisiskeuangan global, kapasitas energi terbarukan tumbuh pesat di tahun 2009dibandingkan dengan kapasitas terpasang kumulatif dari tahun sebelumnya.Misalnya kapasitas daya angin meningkat hampir satu per tiga, sedangkankapasitas tenaga surya meningkat ebih dari lima puluh persen.                                   
Selain potensi teknis energi terbarukan tidak terbataspermintaan energi yang diproyeksikan melebihi di masa depanNegara berkembang sebagai sumber lebihdari setengah dari kapasitas energi terbarukan global.
Teknologi energi terbarukan berada pada berbagai tahap kematangan dan juga dapat memiliki dampak yang merugikanSebagaicontohtenaga air adalahteknologi tua dengan kemampuan berkembang terbatas di tahun-tahun mendatang. Bendungan besar telah mengakibatkan perpindahan dari jutaan orangdi seluruh dunia dan juga tidak bisa merubah lagi fragmentasi lebih dari setengahsungai-sungai di duniaTenaga Air jelas mencerminkan pentingnya menimbangsemua dampak dari sumber energi terbarukan.
Teknologi lain seperti penggunaan potensikinetikpanas dan kimia air laut berada di fase demonstrasi dan percontohan serta memerlukan penelitian tambahan danpengembangan

Energi terbarukan umumnya masih lebih mahal dari pada teknologi konvensional,namun dalam kondisi tertentu energi terbarukan dengan harga yang kompetitif.Selanjutnyajika biaya yang  terkait dengan emisi gas rumah kaca selamapembakaran bahan bakar fosil adalah internalisasi, teknologi energi terbarukankemungkinan akan jauh lebih kompetitif dari mereka saat ini. 
Bagaimana kita mengarah kesana? 

Mengingat bahwa kita mengharapkan adanya pergeseran paradigma dalam cara kita menghasilkan energi, tidak mengherankan bahwa akan ada beberapa rintangan, namun harus bisa dikelola.
Laporan tersebut memperkirakan bahwa investasi dalam kisaran 1.2-5.1triliun dolar AS (2005) diperlukan dalam dekade saat ini dan 1.4-7.2triliun dolar AS berikutnya. Sementara jumlah ini tidak sedikit, rata-rata tahunan dari investasi tersebut lebih kecil dari 1% dari GDP dunia. 

Langkah-langkah kebijakan proaktif sangat penting di tingkat lapangan antara energi terbarukan dan sumber energi konvensional. Tarif, kuota dan akses prioritas grid adalah ukuran bahwa subsidi energi terbarukan bisa bersaing. Bila harga energi terbarukan turun, ukuran subsidi juga menurun. Insentif fiskal juga memainkan peran penting. Ini termasuk pajak karbon dan rabat serta hibah kepada pengguna akhir untuk memilih sumber energi terbarukan. 
Kajian kebijakan lebih berhasil jika mereka dipasangkan dengan investasi publikyang besar dalam penelitian dan pengembangan(&D), karena mereka sering jugamengakibatkan investasi sektor swasta. Akibatnya kebijakan publik dan investasimenciptakan lingkungan yang kondusif untuk investasi oleh sektor swastadanmendapatkan lebih banyak simpanan uang.
Pemberantasan kemiskinan energi 

Untungnya IPCC mengambil "tantangan ganda"secara bersamaanmemastikanbahwa energi yang dihasilkan tanpa emisi gas rumah kaca dan bahwa kaum miskin di dunia memiliki hak dalam pembangunan berkelanjutanHubungan antara tingkatkemiskinan dan (kurangnya) akses terhadap energi telah ditetapkan (World Economic and Social Survey, 2009; PBB)Lebih dari dua miliar orang mendapatkansedikit atau tanpa akses ke listrik dengan kehidupan miskin mereka. Energiterbarukan dapat memainkan peran penting dalam memecahkan siklus ini, karenabaik untuk distribusi energi yang terdesentralisasi.
Tetapi laporan dari Promoting Development, Saving the Planet oleh United Nations' Department of Economic and Social Affairs (2009) sangat jelas menunjukkan,aksesibilitas juga terkait dengan keterjangkauanOrang miskin menghabiskanpersentase lebih tinggi dari pendapatan mereka pada energiOleh karena itu tidak cukup untuk membuat energi terbarukan lebih kompetitif dengan bahan bakar fosil.Harga energi terbarukan harus turun secara signifikan agar menjadi pilihanmasyarakat miskin.

Bioenergiterbarukan yang rumit

Saat ini kaum miskin lebih banyak membakar kayu bakar untuk memasak danmemanaskan. Sayangnya pembakaran biomassa sangat tidak efisien dan merupakan penyebab utama dari polusi udara dalam ruangan di dalam rumah tangga pedesaan termiskin di dunia

Pembakaran biomassa diklasifikasikan sebagai energi terbarukan karena pohonyang ditebang dan dibakar untuk bahan bakar dapat digantikan dengan menanampohon baru. Namun praktik ini adalah salah satu penyebab utama deforestasi danhilangnya habitat bagi spesies langka.
Bioenergi tidak terbatas pada pembakaran biomassa saja. Beberapa teknologi yangsudah tersedia dan lainnya berada di tahap pengembanganSebagai contoh,produksi etanol dari gula dan pati ada pada tahap komersialsedangkan teknologi seperti produksi bahan bakar dari ligno-cellulosis dan ganggang berada dipra-komersial serta tahap penelitian dan pengembangan.

Sayangnya ada beberapa implikasi lingkungan dan sosial yang berpotensi buruk terkait dengan bioenergiStudi menunjukkan bahwa input energi untukmenghasilkan bioenergi lebih besar dari pada jumlah energi yang dihasilkanyang berarti bahwa bioenergi tidak mengurangi emisi gas rumah kacaMelakukananalisis siklus hidup bioenergi perlu memperhitungkan stok karbon tanah yangdibuka untuk menanam tanaman bioenergiemisi dari penggunaan pupuk dan emisidari transportasi dan pengolahan.


Dampak sosial bioenergi telah terbukti menjadi lebih dahsyat. Konversi lahan untukmenanam tanaman untuk bahan bakar berarti bahwa tanah kurang untukmenanam tanaman panganmengakibatkan harga pangan lebih tinggi. Bahkanlaporan internal Bank Dunia dari 2008 memperkirakan bahwa bioenergimeningkatkan harga makanan sampai 75%.
Peringatan       

Hasil laporan umumnya positif dan memberikan harapan bahwa jalur masa depanrendah karbonitu tidak cukupLaporan IPCC fokus pada skenario yang akanmembuat konsentrasi gas rumah kaca pada 450 ppm dan kenaikan suhu tidak melebihi 2 derajat C, bukan permintaan lebih ketat dari 350 ppm dan 1,5 derajat Cdari 100 negara lebihUntuk mencapai tujuan yang lebih ambisius, kita perlu bebaskarbon pada tahun 2050Untuk menjadi yang ambisius kita perlu kerjasama globalyang ketat berdasarkan pada keadilan dan hak untuk memastikan jenis pembagianpembiayaan dan teknologi energi terbarukan.
Cara lain menurunkan emisi gas rumah kaca dan secara bersamaan memenuhipermintaan global untuk konversi dan efisiensi energi seperti perubahan gaya hidupSebuah studi baru-baru ini diterbitkan oleh WWF dan Ecofys (LaporanEnergi2011)  melihat pada seluruh pilihan dan berbagai tantangan dan pilihanyang dihadapi masyarakat. 

Laporan IPCC membuat kita mulai ke arah yang benarSekarang masyarakat harusmemanfaatkan situasi ini dalam memenuhi kebutuhan energi masyarakat secara adil dan sebagai kesempatan untuk menemukan jalan baru ke depanRevolusienergi telah lepas landas dengan cepat.
Payal Parekh adalah ahli kebijakan dan pengetahuan tentang perubahan iklim.

(Diterjemahkan dengan bebas oleh Ani Purwati dari sumberhttp://www.twnside.org.sg/title2/climate/info.service/2011/climate20110601.ht