Search for Green

Tuesday, May 17, 2011

"SUPER - EARTH" Nasib Bumi- Manusia (Kemungkinan kepindahan manusia kePlanet lain)


"SUPER - EARTH" 
"Kehidupan di bumi semakin berada dalam resiko untuk disapu oleh bencana, pemanasan global mendadak, perang nuklir, virus hasil rekayasa genetika, dan bahaya lain. (fisikawan Stephen hawking. 26 april 2007 peneliti "lubang hitam" dan penulis buku " A Brief History of Time" )


Diantara miliaran bintang yang ada, kebolehjadian menemukan planet seperti bumi jelas ada, dan salah salah satunya memang telah ditemukan, yakni planet yang mengelilingi bintang redup Gliese 581, yang terletak pada 20,5 tahun cahaya dari bumi, dan berada pada rasi Libra. (catatan : jarak Bumi –Gliese adalah setara dengan 20,5 x 9.500.000.000.000 kilometer)

Penemuan dilakukan dengan teleskop European Southern Observatory (ESO) bergaris tengah 3,6 meter yang ada digurun Atacama Chile. Salah satu yang menjadi landasan bagi para astronom penemu mengatakan planet tersebut serupa dengan bumi adalah kemungkinan adanya air yang mengalir dipermukaannya. Ini bisa terjadi karena suhu planet tersebut sedang, artinya tidak seextrim merkurius. Stephane Udry dari Observatorium Geneva yang mengepalai penulisan laporan penemuan ini di Journal 


Astronomy & Astrophysics terbitan mendatang menyebutkan, suhu rata-rata planet ini antara 0 derajat dan 40 derajat celcius, jadi memungkinkan adanya air dalam wujud cair. Dengan adanya air dalam bentuk cair, ada pula kemungkinan terdapat kehidupan diplanet yang oleh para astronom lalu disebut "super – earh " ini. Lebih jauh lagi disebutkan bahwa radius planet hanya 1,5 kali radius bumi, dan model yang dibuat memperlihatkan planet ini merupakan planet batuan –seperti halnya bumi-atau tertutup oleh lautan. Hal ini akan jadi focus penyelidikan misi antariksa mendatang, kata Xavier Delfosse, anggota penemu dari universitas Grenobles. Terutama untuk mencari kehidupan extraterrestrial. Teleskop akan dipangkalkan diruang angkasa untuk melacak apa ada jejak atau "tanda tangan" yang bisa diasosiasikan dengan proses biologi. Observatorium akan coba melacak ada tidaknya gas atmosfer seperti metana. Bahkan mungkin juga marka khlorofil, pigmen dalam tanaman bumi yang memainkan peranan penting dalam fotosintesa. Dalam kaitan penemuan planet yang kemudian diberi kode Gliese 581 C ini, orang bisa mengagumi teknik yang diterapkan para astronom untuk menemukan obyek sekecil ini dilangit yang jauh, bahkan sampai tahu, bahwa planet planet ini mengorbit bintang induknya hanya dalam tempo 13 hari. 


Artinya satu tahun di Gliese 581 C hanya berlangsung 13 hari. Planet tetap bisa dalam kondisi"memungkinan untuk kehidupan " – atau dalam istilah lain tetap masuk dalam "Zona Goldilock"-karena meski jaraknya ke bintang hanya 1/14 jarak Bumi – Matahari (sekitar 18juta kilometer), ia tetap tidak kepanasan. Ini karena bintang induknya redup, tidak sepanas matahari yang suhu permukaannya hampir 6000 derajat celcius. "super-earth" telah menimbulkan gairah baru dalam pencarian planet dan kehidupan extraterrestrial karena ia memang berbeda dengan 200 eksoplanet yang sejauh ini telah ditemukan. Kalau memang kehidupan Extraterrestrial bisa di konfirmasikan, manusia bumi jelas semakin punya harapan untuk melestarikan rasnya tanpa harus mengembangkan lingkungan seperti halnya kalau ingin hidup di Bulan atau Mars. Bisa juga kehidupan extraterrestrial di Gliese 581 C atau di planet lain jauh lebih canggih, kalau hal ini yang terjadi , siapa tahu manusia bumi bisa mengirim sinyal SOS ke penghuni disana, dan dengan tekhnologi transportasi angkasa yang lebih maju, mereka bisa mengirim bantuan ke bumi dengan lebih cepat. 


Urusan pindah keluar Bumi diluar ada tidaknya habitat alternative, erat kaitannya dengan wahana yang tersedia. Kini dengan hanya mampu membuat pesawat antariksa yang berkecepatan 100.000 kilometer perjam, bisa dihitung berapa lama wahana buatan manusia ini akan tiba di planet Gliese 581 C. Koloni angkasa tak diragukan lagi akan terus menjadiimpian manusia yang tak akan pernah padam. Dengan segala permasalahan rutin kebumian yang melilit umat manusia sekarang ini, "langkah persiapan" untuk menuju kesana telah dilakukan oleh bangsa maju, seperti berlatih tinggal lama diruang angkasa, yg mengexpose mereka pada keadaan tanpa berat, seperti yang dialami hawking selama 8 x 25 detik. 


Namun, semua itu hanya akan ada artinya jika umat manusia pertama – tama lolos dulu dari ancaman serius yang kini tengah mengepungnya, yang juga telah disinggung hawking, apakah itu pemanasan global atau perang nuklir. Kalau manusia tak lolos dari ancaman ini, akan sia-sialah rencana pindah habitat, meski penemuan Gliese 581 C memberi peluang bahwa tempat tinggal seperti dibumi ada di semesta, walau sungguh nun jauh disana. Kompas rabu.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/795126-super-earth-nasib-bumi-manusia/#ixzz1Ma3Dtsew

Super-Earth's atmosphere analysed for first time

Super-Earth's atmosphere analysed for first time

A crude spectrum has been obtained for the atmosphere of a super-Earth orbiting a dim red dwarf star 40 light years away. The planet's upper atmosphere is apparently dominated by steam or cloudy haze.
The star, Gliese 1214 (GJ 1214) in Ophiuchus, is 300 times dimmer than the sun. Its planet was discovered in 2009 when the MEarth Project detected the planet's silhouette periodically dimming the star. The planet has 6.5 Earth masses, as determined later by the star's gravitational wobbles, and it circles the little star very closely in just 38 hours. The transits reveal the planet's diameter to be 2.6 times Earth's – making its average density very low, only about a third of Earth's density.
Using one of the European Southern Observatory's 8.2-metre Very Large Telescope reflectors, a team of astronomers detected a telltale absorption spectrum caused by a tiny fraction of the star's light filtering through the planet's atmosphere during each transit. The spectrum was featureless, indicating that the upper atmosphere either consists mostly of water vapor or is dominated by high-altitude clouds or haze.
"This is the first super-Earth to have its atmosphere analysed. We've reached a real milestone on the road toward characterising these worlds," said team leader Jacob Bean of the Harvard–Smithsonian Center for Astrophysics in astatement.
Before this observation, astronomers had suggested three possible atmospheres for Gliese 1214b. The planet could be shrouded by water – which, given its high temperature so close to the star (200 ÂșC), would be in the form of steam. Or it could be a rocky world with an atmosphere of mostly hydrogen obscured by high clouds or hazes. Or it might be a mini-Neptune, with a small rocky core and a deep hydrogen-rich atmosphere, the upper part of which would be clear.
The measurements clearly show no sign of hydrogen and thus rule out the third option. So the atmosphere is either rich in steam or blanketed by clouds or hazes. The planet's low density, meanwhile, indicates that it's a waterworld.
"Although we can't yet say exactly what that atmosphere is made of, it is an exciting step forward to be able to narrow down the options for such a distant world to either steamy or hazy," says Bean. "Followup observations in longer-wavelength infrared light are needed to determine which of these atmospheres exists on Gliese 1214b."
Journal reference: Nature (DOI: 10.1038/nature09596)
Courtesy of Sky and Telescope magazine

Saturday, May 14, 2011

Tak Ada Zat Radiaktif yang Aman


25 tahun setelah bencana Chernobyl, orang-orang di Belarusia masih mengonsumsi radiasi cesium dari jamur dan benda yang mereka dapatkan dari hutan. (foreignpolicy.com)

VIVAnews - Pengelola pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi berjanji menyelesaikan krisis radiasi yang melanda dalam waktu enam hingga sembilan bulan ke depan. 

Saat ini, ada dua tahap penanggulangan yang dilakukan, yakni dengan mengurangi jumlah radiasi yang menyebar dan mengendalikan pelepasan materi radioaktif. Kedua cara itu diungkapkan oleh Tokyo Electric Power Corporation (TEPCO), pengelola PLTN Fukushima.

Pemerintah Jepang pun tak kalah sibuk mengurusi masalah ini. Untuk meminimalisasi jumlah korban, pemerintah telah mengevakuasi puluhan ribu warga Fukushima. Mereka ditempatkan puluhan kilometer jauhnya dari lokasi PLTN yang mengalami kerusakan. 

Yang jadi pertanyaan, apakah dengan kedua cara ini, permasalahan radiasi Fukushima bakal selesai?

Dr. Jeff Patterson, seorang ahli paparan radiasi, dalam diskusi yang digelar di National Press Club di Washington D.C, Amerika Serikat, menjelaskan secara gamblang mengenai bahaya radiasi.

Paparan Patterson diawali dengan pernyataan bahwa tak ada zat radioaktif yang benar-benar aman. Berapa pun kadarnya, zat radioaktif tetaplah berbahaya. “Tak ada level aman untuk zat radioaktif,” kata Patterson, seperti dikutip dari About, 13 Mei 2011.

“Berapa pun kadar zat radioaktif, ia tetap berpotensi memicu kanker dan berbagai efek lain seperti yang kita tahu selama ini,” ucap mantan presiden Physicians for Social Responsibility, lembaga swadaya masyarakat di Amerika Serikat yang melindungi masyarakat dari ancaman radiasi nuklir, pemanasan global, dan bahaya pencemaran lainnya. 

Menurut Patterson, bahaya radiasi tak hanya muncul saat seseorang terkontaminasi zat radioaktif. “Yang tak kalah mengerikan adalah bahaya radiasi juga masih bisa tersimpan hingga ratusan tahun,” ucapnya. 

Lebih parah lagi, Patterson mencatat, saat menjalani prosedur medis perisai tiroid dan celemek pelindung yang harus digunakan tidak bisa mencegah kontaminasi zat radioaktif terhadap tulang dan gigi saat pasien diberi X-ray. 

"Ahli radiologi juga harus menambahkan kacamata khusus dan sarung tangan berlapis untuk melindungi mata mereka. Sebab, zat radioaktif bisa menimbulkan katarak bila terkena mata," beber Patterson. 

Mengenai efek yang ditimbulkan oleh bencana radiasi seperti yang terjadi di Jepang baru-baru ini, Patterson menilai, pengendaliannya bakal sulit. Pasalnya, bencana radiasi menurutnya berbeda dengan bencana alam, seperti banjir, badai topan, maupun gempa bumi. 

"Bencana alam seperti badai Katarina, memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Kita mengungsi, memperbaiki barang-barang, dan melanjutkan hidup. Namun bencana nuklir sangat berbeda,” ucap Patterson.

Bencana nuklir, sebut Patterson, punya awal, dan tahapan di tengah yang bisa berlangsung beberapa lama, namun tak pernah berakhir. “Bahayanya tetap menyebar selamanya, karena efek radiasi itu berlanjut terus-menerus,” ucapnya.

Patterson juga membantah anggapan bahwa bencana Chernobyl yang terjadi 25 tahun lalu sudah tidak membahayakan lagi bagi kesehatan orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Menurutnya, data yang selama ini dirilis mengenai bencana Chernobyl tidak ilmiah. 

Seperti diketahui, bencana Chernobyl adalah kecelakaan reaktor nuklir terburuk dalam sejarah manusia. Pada 26 April 1986 pukul 01:23 pagi, reaktor nomor empat di PLTN yang terletak di Uni Soviet tersebut meledak. Akibat kejadian tersebut, 5 juta orang yang tinggal di Belarusia, Ukraina, dan Rusia terkontaminasi zat radioaktif. 

Dokumen yang dirilis terkait bencana ini menyebutkan, ribuan korban meninggal akibat kanker tiroid. Penelitian menunjukkan spesies yang berada di sekitar Chernobyl mengalami cacat genetik, dan hewan yang berada ratusan kilometer dari sana tidak dapat dikonsumsi karena dagingnya tercemar zat radioaktif cesium. Bagi Patterson, data ini masih prematur dan tidak lengkap. 

"Dua puluh lima tahun setelah bencana Chernobyl, orang-orang di Belarusia masih mengonsumsi radiasi cesium dari jamur dan benda-benda yang mereka dapatkan dari hutan. Kadar zat ini terus dan terus meningkat,” kata Patterseon. 

Dari gambaran singkat yang terlihat memang tidak ada kerusakan, namun coba ikuti terus perkembangannya setelah 60-70 atau 100 tahun ke depan. “Tentu tak ada dari kita yang ingin menjadi bagian akhir dari eksperimen itu. Namun kita sedang menempatkan zat tersebut pada anak dan cucu kita," pungkas Patterson.
• VIVAnews

Monday, May 9, 2011

Bukti-Bukti Kehidupan Awal Bumi Ada di Bulan

Saat Bumi dibombardir asteroid dan meteor banyak material dan bebatuan terlempar ke bulan.


Batu-batuan yang berasal dari planet Bumi terlempar ke Bulan saat asteroid membombardir Bumi dan inner planet (planet paling dekat dengan Matahari) lainnya. (starryskies.com)

VIVAnews - Mengetahui bagaimana kehidupan dimulai di planet Bumi adalah salah satu target utama ilmu pengetahuan. Sejumlah peneliti asal Inggris memiliki teori baru. Mereka yakin kunci untuk mengetahui misteri bentuk kehidupan awal di Bumi justru berada di bulan.

Peneliti menyebutkan, batu-batuan yang berasal dari planet Bumi terlempar ke bulan saat asteroid membombardir Bumi dan inner planet (planet paling dekat dengan Matahari) lainnya.

Sebagai informasi, sekitar 4 miliar tahun lalu, terjadi fenomena hujan meteor yang disebut sebagai Late Heavy Bombardment. Ketika itu, planet Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars dihujani oleh ribuan asteroid dan meteorit yang menghantam permukaan planet.

Fenomena sangat mengerikan yang berlangsung selama 300 juta tahun itu memiliki efek beragam pada planet-planet yang ketika itu masih muda, salah satunya adalah pelontaran miliaran ton material dari permukaan planet ke luar angkasa.

Pada kasus Bumi, sebagian material itu kemungkinan berhasil tiba di Bulan. Hipotesis ini sangat masuk akal, mengingat di kutub selatan Bumi pernah dijumpai meteorit yang terbukti berasal dari planet Mars.

Untuk itu, sangatlah mungkin berasumsi bahwa planet-planet terdalam saling bertukar material saat Late Heavy Bombardment. Demikian pula dengan Bumi dan Bulan yang juga saling bertukaran material.

Menurut sejumlah pakar dari University of London Birkbeck College School of Earth Sciences, material milik Bumi itu telah mendarat di Bulan dengan mulus sehingga memungkinkan tanda-tanda biologis tetap tersimpan dengan baik.

Dikutip dari Softpedia, 5 Mei 2011, tim peneliti yang diketuai oleh Ian Crawford dan Emily Baldwin menyebutkan, tanda-tanda biologi itu justru tidak akan mampu bertahan di Bumi karena besarnya dampak tumbukan meteor, erosi akibat angin dan hujan, aktivitas volkanik, gempa bumi, dan penguasaan habitat oleh spesies makhluk hidup lain.

Dalam sejumlah simulasi komputer, tim peneliti menunjukkan sebongkah material yang terpental ke arah Bulan akibat tumbukan asteroid pada bumi akan mendarat di permukaan Bulan dengan kecepatan 2,5 kilometer per detik atau kurang. Dengan temperatur yang ada di Bulan, tidak ada bagian dari material itu yang mendekati tekanan puncak yang mengakibatkan material itu meleleh.

Sayangnya, teori baru ini belum bisa dibuktikan secara ilmiah sampai manusia kembali pergi ke Bulan, mengumpulkan sampel bebatuan dari sejumlah lokasi, dan membawa pulang ke Bumi untuk dianalisa secara mendalam. Namun, melakukan penelitian seperti itu akan memberikan kita pengetahuan yang luar biasa akan sejarah kehidupan di planet Bumi. (adi)
• VIVAnews

NASA Buktikan Teori Relativitas Einstein

"Saat bumi berotasi, madu di sekitarnya membentuk pusaran, begitu pula ruang dan waktu."

Ilustrasi satelit (NASA)


VIVAnews - Alat pengukur gravitasi milik Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA, berhasil membuktikan dua asumsi kunci yang dicetuskan Albert Einstein dalam teori relativitas. Teori ini dicetuskan oleh Einstein pada 52 tahun yang lalu.
Misi The Gravity Probe-B (GP-B) diluncurkan pada tahun 2004 untuk mempelajari dua asumsi Einstein. Pertama, mengenai efek geodesi, atau adanya lengkungan ruang dan waktu di sekitar gravitasi. Kedua, asumsi mengenai frame-dragging, yang menjelaskan jumlah struktur ruang-waktu yang terpilin akibat rotasi suatu massa.    
"Bayangkan bumi seakan-akan terbenam di benda seperti madu," kata Francis Everitt, peneliti Stanford University yang juga peneliti utama GP-B. "Ketika bumi berotasi, madu di sekitarnya akan membentuk pusaran yang mengikuti (swirl), begitu pula dengan ruang dan waktu," demikian analogi Everitt.
Gravity Probe-B menggunakan empat gyroscope (pengukur orientasi) dengan tingkat ketepatan ultra tinggi untuk mengukur dua hipotesa gravitasi ini. Alat ini kemudian mengkonfirmasi kedua efek gravitasi dengan mengarahkan alat ini ke bintang yang disebut IM Pegasi, untuk menciptakan presisi yang netral.
Jika gravitasi tidak berdampak terhadap ruang dan waktu, maka gyroscope GP-B akan menunjuk ke arah yang sama saat probe itu berada di kutub orbit sekitar bumi. Bagaimana pun, gyroscopes memiliki perubahan kecil tapi terukur terhadap arah putaran daya tarik bumi.
"Hasil misi ini akan memiliki dampak jangka panjang terhadap teori yang dimiliki ahli fisika," kata Bill Danchi, ahli antrofisika dan pengamat di Markas Nasa di Washington.
"Setiap teori yang meragukan teori Einstein dalam hal relativitas umum akan mencoba untuk mencari hasil pengukuran yang tepat dari yang telah dilakukan GP-B," lanjut Danchi.
Hasil ini menjadi proyek terpanjang yang dilakukan NASA, yang telah terlibat dalam penelitian gyroscope untuk relativitas sejak 1963.   
Penelitian dan percobaan yang dilakukan selama berpuluh tahun ini telah merintis teknologi untuk mengendalikan gangguan yang bisa mempengaruhi pesawat ulang-alik, seperti daya tarik aerodinamis, medan magnet, dan variasi hawa panas. Lebih jauh, misi pelacak bintang dan gyroscope NASA merupakan alat dengan presisi tertinggi yang pernah didesain dan diproduksi.   

• VIVAnews

Biopori dan Kompos untuk Menjaga Kualitas Tanah dan Lingkungan Hidup

Aliansi Organis Indonesia - 10 Nov 2010



Saat ini sebagian besar dari manusia seakan telah lupa adanya kehidupan di tanah. Seperti tumbuhan, hewan dan manusia, makhluk hidup di dalam tanah ini juga memerlukan oksigen, air dan nutrisi lainnya. Namun banyak dari manusia tidak menyadari atau melupakannya dengan melakukan aktivitas hidup yang tidak memperhatikan kepentingan makhluk hidup di dalam tanah.
“Seringkali kita menutup tanah dengan bangunan, jalan beraspal dan semen. Kondisi ini akan mengakibatkan pori-pori tanah tertutup dan berkurang, sementara bangunan mempengaruhi tanah. Akibatnya tanah menjadi turun dan retak, seperti beberapa kejadian di Jakarta,” kata Kamir Brata dari Institut Pertanian Bogor (IPB) saat pelatihan pembuatan biopori dan kompos di “Indonesia Organic and Green Fair 2010,” Lapangan Taman Koleksi, Kampus IPB Baranangsiang, Bogor, Jawa Barat (7/11).
Ketika tanah ditutup, oksigen, air dan nutrisi tidak bisa menyerap dalam tanah dan menimbulkan tanah tidak subur. Makhluk hidup dalam tanah tidak mendapat makanan, air dan oksigen.  Selain itu air hujan juga tidak bisa terserap dalam tanah dan tergenang menimbulkan banjir.
“Perlu upaya agar kondisi ini tidak semakin parah dan makhluk hidup dalam tanah bisa kembali hidup,” kata Kamir Brata.
Caranya menurut Kamir, dengan membuat biopori, mengolah sampah organik (basah) menjadi kompos dan mengurangi sampah anorganik (kering) yang bisa menghambat penguraian taupun peresapan air dan nutrisi dalam tanah. Lubang biopori sangat penting untuk menyerap dan menampung air tanah kembali dan juga untuk menjaga kualitas lingkungan hidup.
Lubang biopori bisa dibuat dengan alat bor di halaman rumah yang masih ada. Ukuran diameter biopori ini 10 cm dan kedalaman 1 meter. Agar air mudah masuk ke dalam lubang biopori, perlu dibuat alur-alur ke arah lubang biopori. Besar dan dalamnya secukupnya agar air mudah mengalir ke lubang biopori.
Selain bisa menampung dan menyerap air, lubang biopori juga bisa diisi dengan sampah organik sehingga bisa menjadi kompos. Usahakan sampah anorganik tidak masuk ke dalam lubang biopori karena akan menghambat proses penyerapan air atupun pengolahan sampah organik menjadi kompos.
Pengomposan Metode Takakura
Membuat kompos dari sampah organik skala rumah tangga juga bisa dilakukan dengan metode takakura yang berasal dari Jepang. Menurut Daniel Mangoting dari Ellsppat, bahan-bahan yang diperlukan dalam pengomposan metode takakura yaitu keranjang dari bahan plastik polypropilen (agar tidak bereaksi dengan sampah dan menimbulkan zat-zat yang tidak baik dalam kompos), pelapis keranjang berupa kardus atau karung goni, bantal dari gabah padi diletakkan di dasar keranjang yang sudah berlapis kardus atau karung goni.
Fungsi dari bantal di dasar keranjang ini untuk menjaga kelembapan dan fungsi keranjang yang berlubang kecil-kecil agar tetap ada sirkulasi udara keluar masuk keranjang dimana proses pengomposan berlangsung.
Lalu masukkan biang kompos (kompos yang belum jadi) ke dalam keranjang yang sudah dilapisi kardus (karung goni) dan dasarnya ada bantal dari gabah padi hingga ketinggian ¾ keranjang. Buat rongga-rongga dalam biang kompos yang sudah masuk. Setelah itu masukkan sampah organik yang sudah dipotong kecil-kecil, tutup dengan biang kompos lagi dan bantal gabah padi. Lalu di atas bantal ditutup dengan penutup keranjang yang sudah dilapisi dengan kain.
Tutup keranjang dilapisi kain agar serangga dan lalat tidak bisa masuk ke dalam keranjang. Hari berikutnya pada pagi hari, sampah dalam keranjang bisa diaduk dan dimasukkan lagi potongan sampah berikutnya. Ditutup lagi dengan biang kompos, bantal dan penutup keranjang.
Setelah 2-3 hari di atas pengomposan akan terasa panas yang menandakan proses pengomposan berhasil. Juga terjadi penyusutan volume sampah dalam proses pengomposan metode takakura ini. Setelah dua bulan, kompos bisa dipanen dan digunakan untuk pemupukan.